Wweeii..Inilah.. Syarat Pengajuan Gugatan Hasil Pilkada Digugat ke MK
https://www.riaupublik.com/2015/12/wweeiiinilah-syarat-pengajuan-gugatan.html
RIAUPUBLIK.COM, JAKARTA-- Ketentuan yang mengatur syarat pengajuan permohonan pembatalan
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi
Undang-Undang (UU Pilkada) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Secara
khusus, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 158 ayat (1) huruf a, b,
c, d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c, d UU Pilkada.
Pemohon dalam Perkara yang teregistrasi dengan nomor 97/PUU-XIII/2015 itu adalah seorang politisi Partai Gerindra Habiburokhman yang berniat mengajukan diri sebagai calon peserta Pilkada tahun 2017 mendatang. Menurutnya, ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang membatasi pengajuan permohonan sengketa dengan angka selisih tidak lebih dari dari 2% dan ada variasi sesuai jumlah penduduk kabupaten/kota atau provinsi, dinilai Pemohon berpotensi melanggar hak konstitusionalnya.
“Ketika saya mengikuti Pilkada kemudian ada selisih yang lebih dari 2% lalu saya tidak bisa mengajukan permohonan, padahal di undang-undang yang terdahulu normanya adalah selama berpengaruh, bahkan Mahkamah Konstitusi mempraktikan doktrin terstruktur, sistematis, dan masif, menurut saya secara de facto memang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan kemunduran dari apa yang sudah dipraktikan oleh Mahkamah Konstitusi,” paparnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (19/8).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 158 ayat (1) huruf a, b, c, d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c,d UU Pilkada bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai ‘Permohonan pembatalan hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon dan terjadinya kecurangan yang bersifat TSM’.
Sudah Pernah Diputus
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Aswanto menyatakan permohonan Pemohon sudah pernah diajukan ke MK dengan Putusan Nomor 51/PUU- XIII/2015 dengan amar putusan tidak dapat diterima. Namun, kendati norma yang diujikan sama, batu ujinya berbeda dengan putusan sebelumnya, sehingga Pemohon perlu mengelaborasi lebih lanjut alasan permohonannya.
“Apabila memang (permohonan) ini diteruskan, maka tentu hal-hal yang terkait dengan hal-hal teknis, ya perlu diuraikan seperti mengenai batu ujinya ini, diuraikan dalam alasan permohonan pengujian, dan diperlihatkan pertentanganya dengan pasal yang jadi objek pengujian ya,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin.
Adapun Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegaskan, Pemohon perlu melampirkan bukti untuk memperkuat kedudukan hukumnya agar permohonan diterima. “Kalau cuma karena berkeinginan (menjadi calon kepala daerah) begitu tampaknya belum pernah menjadi sikap Mahkamah, kecuali memang sudah ada dibuktikan,” ujarnya. (Lulu Hanifah)
Sbr:Mahkama Konstitusi
Pemohon dalam Perkara yang teregistrasi dengan nomor 97/PUU-XIII/2015 itu adalah seorang politisi Partai Gerindra Habiburokhman yang berniat mengajukan diri sebagai calon peserta Pilkada tahun 2017 mendatang. Menurutnya, ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang membatasi pengajuan permohonan sengketa dengan angka selisih tidak lebih dari dari 2% dan ada variasi sesuai jumlah penduduk kabupaten/kota atau provinsi, dinilai Pemohon berpotensi melanggar hak konstitusionalnya.
“Ketika saya mengikuti Pilkada kemudian ada selisih yang lebih dari 2% lalu saya tidak bisa mengajukan permohonan, padahal di undang-undang yang terdahulu normanya adalah selama berpengaruh, bahkan Mahkamah Konstitusi mempraktikan doktrin terstruktur, sistematis, dan masif, menurut saya secara de facto memang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan kemunduran dari apa yang sudah dipraktikan oleh Mahkamah Konstitusi,” paparnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (19/8).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 158 ayat (1) huruf a, b, c, d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c,d UU Pilkada bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai ‘Permohonan pembatalan hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon dan terjadinya kecurangan yang bersifat TSM’.
Sudah Pernah Diputus
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Aswanto menyatakan permohonan Pemohon sudah pernah diajukan ke MK dengan Putusan Nomor 51/PUU- XIII/2015 dengan amar putusan tidak dapat diterima. Namun, kendati norma yang diujikan sama, batu ujinya berbeda dengan putusan sebelumnya, sehingga Pemohon perlu mengelaborasi lebih lanjut alasan permohonannya.
“Apabila memang (permohonan) ini diteruskan, maka tentu hal-hal yang terkait dengan hal-hal teknis, ya perlu diuraikan seperti mengenai batu ujinya ini, diuraikan dalam alasan permohonan pengujian, dan diperlihatkan pertentanganya dengan pasal yang jadi objek pengujian ya,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin.
Adapun Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegaskan, Pemohon perlu melampirkan bukti untuk memperkuat kedudukan hukumnya agar permohonan diterima. “Kalau cuma karena berkeinginan (menjadi calon kepala daerah) begitu tampaknya belum pernah menjadi sikap Mahkamah, kecuali memang sudah ada dibuktikan,” ujarnya. (Lulu Hanifah)
Sbr:Mahkama Konstitusi