Menjerat Wartawan Dengan UU ITE Berbahaya

Oleh : Sudirman Duhari
Fhoto: Internet.                                                                   
RIAUPUBLIK.COM-- Sejak disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 25 Maret 2008, dan kemudian di undangkan 21 April 2008 silam, UU ITE (Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik)  sudah menelan banyak korban wartawan yang terseret ke penjara, meski sebagian kecil diantaranya akhirnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung. Maklum, ada Fasal karet dalam UU tersebut sehingga sangat tergantung kepada penafsiran dan subyektifitas hakim.

Teranyar, awal bulan November tahun ini, wartawan Tribun Jeteng (Tribunnews) Raka. F. Pujangga ditetapkan oleh Mabes Polri  sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik dan dijerat dengan UU ITE terkait pemberitaan kampanye di Semarang menyusul laporan yang menyebutkan dugaan Fadli Zon  bagi bagi uang saat pemilihan pilpres 2 Juli 2014 lalu. Dalam pilres beberapa bulan lalu, Fadli Zon tergabung dalam koalisi Merah Putih pendukung Capres Parabowo Subianto/Cawapres Hatta Radjasa. Saat ini Fadli Zon menduduki kursi Wakil Ketua DPRI.

Raka F Pujangga bersama Ketua Komite penyelidikan Pemberantasan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (P2KKN) Jawa Tengah  dijerat dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE serta pasal pencemaran nama baik pasal 310 dan 311 KUHP.

Fenomena penggiringan wartawan masuk penjara dengan tuduhan melanggar UU ITE, tidak  saja menjadi hantu baru bagi wartawan, akan  tetapi lebih luas lagi telah menjadi ancaman bagi kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi. Terlebih lagi hukumannya sangat berat yani lebih dari enam tahun dan/atau denda maksimal satu milyar rupiah. Dengan demikian polisi dapat menahan tersangka selama 120 hari karena dianggap wartawan  melakukan pencemaran nama baik.

Hukuman ini jauh lebih berat jika dibanding dengan pasal 310 KUHP  produk kolonial yang ancaman pidananya paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Padahal sesungguhnya wartawan dalam menjalankan tugasnya, pada hakekatnya adalah melaksanakan perintah UU yakni   UU No 40/1999  tentang Pers. Wartawan  juga menjalankan tugas yang dibebankan dari negara. Salah satu fungsi dan peranan pers adalah melakukan sosial kontrol, selain mendidik dan dan menghibur. Dalam menjalankan tugasnya, pers senantiasa berpedoman dan tuntuk pada ketentuan UU No. 40 dan Ketentuan kode etik jurnalistik. Dalam UU No.40 secara tegas mengatakan bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh UU.

 Undang No 40 tahun 1999 seharusnya bersifatlexspesialis yakni diberlakukan khusus bagi pers atau wartawan sebagaimana militer berlaku Undang Undang Hukum Pidana militer.Jika ada anggota  militer dalam menjalankan tugasnya melanggar, maka diberlakukan  Undang Undang Hukum Pidana Militermiliter, bahkan mereka diadili  melalui peradilan militer, bukan peradilan umum.

Sayangnya UU No.40 tahun 1999 tersebut, seringkali tak digunakan oleh aparat penegak hukum. Penegak hukum lebih senang menggunakan UU yang lebih kejam dan lebih fasis yakni UU ITE dan KUHP peninggalan kolonial. UU ITE dan KUHP sangat ampuh untuk melumpuhkan tugas wartawan dalam melakukaan tugas sosial kontrol, sekaligus menimbulkan trauma dan ketakutan bagi wartawan untuk menulis sebuah berita. Dan yang lebih parah lagi, bisa menghambat  kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi yang sudah dijamin oleh Undang-undang

Atmakusumah Astraatmadja , pengamat pers dan pengajar Jurnalisme dari Lembaga Pers Dr.Soetomo (LPDS)  dalam sebuah lokakarya di Jakarta mengatakan,  “dibanyak negara, pasal pasal hukum seperti pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah sudah tidak populer lagi. Alasannya;  pertama ;  sukar dibuktikan secara faktual  karena sering berupa pendapat bukan pernyataan fakta.Kedua; sifatnya relatif dan sangat tergantung kepada perasaan dan pendapat subyektif .Ketiga; pasal pasal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir. Keempat ;tidak menimbulkan kerusakan yang bersifat tetap (permanent damage)”    katanya

Dibeberapa negara, hukuman  pidana diubah menjadi hukuman perdata (denda) secara proporsional dan tidak membangkrutkan media. Negara yang dimaksud adalah Afrika Tengah (2004),Togo (Afrika Barat 2004),Ghana ,Uganda, Belanda, Amerika Serikat, Srilangka, Jepang,ElSalvador, Ukraina, Moldova, Georgia, Bosnia-Herzegovina, Australia, Meksiko, Macedonia, Irlandia,Kamboja.

Penghapusan serupa telah terjadi seperti di Amerika Latin  seperti hoduras, Argentina, paraguay, Kosta Rika, Peru, Guatemala,Ethiopia. Sementara itu Maroko, Yordania, Pakistan sedang memperbaharui UU persnya dengan menghapus hukuman penjara bagi wartawan karena karya jurnalistiknya.

Kemerdeaan berekspresi dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan  kebutuhan asasi setiap manusia terlebih lagi masyarakat demokratis. Dengan adanya kebebasan berekspresi, masyarakat dapat memberikan informasi, melakukan kontrol sosial sehingga diharapkan bisa mencegah timbulnya berbagai bentuk praktek ketidak adilan, penyalah gunaan kekuasaan ,serta mencegah praktek KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme) .

Menurut Hakim Agung, DR  Artidjo Alkostar, SH. LL.M dalam sebuah lokakarya “Kebebasan berekspresi dalam RUU KUHP”,menegaskan bahwa kebebasan berekspresi sangat penting untuk mengontrol supaya tidak ada penyalah gunaan kekuasaan , oligarki kekuasaan politik dan dominasi kekauatan ekonomi sekelompok orang yang merugikan perjalanan kehidupan bangsa.

Pers, kata Artidjo.berperan menjaga ekuilibrium otoritas kekuasaan negara antara eksekutif,legislatif dan yudikatif serta pelaksanaan hak-hak strategis rakyat yang  telah dijamin dalam berbagai aturan hukum.

Kekuasaan politik dan kekuasaan elektoral selalu berpotensi disalah gunakan  dalam bentuk korupsi politik. Akan tetapi pada saat yang sama  keberadaan otoritas kekuasaan politik dan kekuasan elektoral itu diperlukan agar tidak terjadi kekacauan (chaos) dalam kehidupan bernegara.

Dalam kondisi negara Indonesia yang masih mengidap penyakit kangker korupsi politik , maka kontrol sosial dari pers merupakan suatu kebutuhan  vital agar secara radikal bebas virus korupsi politik tidak menjalar keseluruh organ kekuasaan . Bahkan kata Kartidjo, Kontrol sosial akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.

Artidjo mencontohkan Mahkamah Agung membebaskan pemimpin redaksi Majalah Tempo, Bambang Harimurti dari tuduhan melakukan penghinaan dalam suatu tulisan berita. Kasus lainnya, pengabulan kasus kasasi Rommy melawan kepala kepolisian negara Republik Indonesia, dan pengabulan kasasi pimpinan redaksi koran berita Merdeka melawan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal itu merupakan bagian dari penerapan fungsi protektif hukum atas jurnalis karena bekerja  memenuhi standar profesionalisme dan sesuai dengan kode etik.

Lalu bagai mana jika wartawan atau pers melakukan kesalahan dan bagaimana pertanggungjawab hukumnya ?. Mari kita kembali menengok UU No 40/Tahun 1999 Tentang Pers. Disana, antara lain mengatur bahwa pers wasjib melayani hak jawab dan hak koreksi.

Hak jawab adalah hak hak orang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedang hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Sebaliknya, pers memiliki kewajiban koreksi yakni keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini dan gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

Dalam menjalankan tugasnya, wartwan atau pers bisa saja melakukan kesalahan yang digolongkan pelanggaran kode etik. Dewan Pers yang salah satu tugasnya mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik  memberikan teguran kepada media yang bersangkutan tanpa menunggu laporan atau pengaduan.

Jika ada pengaduan dari orang yang merasa dirugikan, Dewan Pers akan memeriksa , apakah dalam ranah jurnalistik atau diluar ranah jurnalistik. Perbuatan pers diluar ranah jurnalistik seperti misalnya menakut-nakuti, memeras, perbuatan tersebut berada diluar ranah jurnalistik. Disini Dewan Pers akan menyatakan tidak berwewenang. Pihak yang dirugikan dapat menempuh jalur hukum.

Apabila dasar pengaduan ada dalam ranah jurnalistik  dan cukup dugaan telah terjadi pelanggaran kode etik, biasanya dewan pers mengusahakan (mengajak) pihak –pihak (pers dan pengadu)  melakukan mediasi dengan prinsip-prinsip menemukan penyelesaian secara damai Apabila ditemukan kesalahan jurnalistik , putusan mediasi disertai kewajiban pers yang bersangkutan  menyediakan hak jawab  dan meminta maaf kepada publik.(***)

*** Penulis adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Tenggara, pemegang sertifikat Saksi Ahli Dewan Pers.






Sbr: MySultra.Com

Related

Ekonomi 6974796047069002574

Posting Komentar

emo-but-icon

Siak

Siak

Ik

Ik

Ikln

Ikln

LPPNRI RIAU

Dewan Redaksi RPC

publik MERANTI

Galery&Adv

Dewan Bengkalis

Newspelalawan

Komisi Pemberantasan Korupsi

Sum

Sum

PEMKAB SIAK

dewan bengkalis

Follow Us

Ikln

Ikln

Rohil

Rohil

Rohil

Rohil

DPRD Rohil

DPRD Rohil

Uc

Uc

Uc

Uc

uc

uc

UCP

UCP

UC

UC

Hot News

Recent

Comments

Side Ads

item