Menjerat Wartawan Dengan UU ITE Berbahaya
https://www.riaupublik.com/2018/09/menjerat-wartawan-dengan-uu-ite.html
Oleh : Sudirman Duhari
RIAUPUBLIK.COM-- Sejak disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 25 Maret 2008, dan kemudian di undangkan 21 April 2008 silam, UU ITE (Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sudah menelan banyak korban wartawan yang terseret ke penjara, meski sebagian kecil diantaranya akhirnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung. Maklum, ada Fasal karet dalam UU tersebut sehingga sangat tergantung kepada penafsiran dan subyektifitas hakim.
Teranyar, awal bulan November tahun ini, wartawan Tribun Jeteng (Tribunnews) Raka. F. Pujangga ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik dan dijerat dengan UU ITE terkait pemberitaan kampanye di Semarang menyusul laporan yang menyebutkan dugaan Fadli Zon bagi bagi uang saat pemilihan pilpres 2 Juli 2014 lalu. Dalam pilres beberapa bulan lalu, Fadli Zon tergabung dalam koalisi Merah Putih pendukung Capres Parabowo Subianto/Cawapres Hatta Radjasa. Saat ini Fadli Zon menduduki kursi Wakil Ketua DPRI.
Raka F Pujangga bersama Ketua Komite penyelidikan Pemberantasan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (P2KKN) Jawa Tengah dijerat dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE serta pasal pencemaran nama baik pasal 310 dan 311 KUHP.
Fenomena penggiringan wartawan masuk penjara dengan tuduhan melanggar UU ITE, tidak saja menjadi hantu baru bagi wartawan, akan tetapi lebih luas lagi telah menjadi ancaman bagi kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi. Terlebih lagi hukumannya sangat berat yani lebih dari enam tahun dan/atau denda maksimal satu milyar rupiah. Dengan demikian polisi dapat menahan tersangka selama 120 hari karena dianggap wartawan melakukan pencemaran nama baik.
Hukuman ini jauh lebih berat jika dibanding dengan pasal 310 KUHP produk kolonial yang ancaman pidananya paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Padahal sesungguhnya wartawan dalam menjalankan tugasnya, pada hakekatnya adalah melaksanakan perintah UU yakni UU No 40/1999 tentang Pers. Wartawan juga menjalankan tugas yang dibebankan dari negara. Salah satu fungsi dan peranan pers adalah melakukan sosial kontrol, selain mendidik dan dan menghibur. Dalam menjalankan tugasnya, pers senantiasa berpedoman dan tuntuk pada ketentuan UU No. 40 dan Ketentuan kode etik jurnalistik. Dalam UU No.40 secara tegas mengatakan bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh UU.
Undang No 40 tahun 1999 seharusnya bersifatlexspesialis yakni diberlakukan khusus bagi pers atau wartawan sebagaimana militer berlaku Undang Undang Hukum Pidana militer.Jika ada anggota militer dalam menjalankan tugasnya melanggar, maka diberlakukan Undang Undang Hukum Pidana Militermiliter, bahkan mereka diadili melalui peradilan militer, bukan peradilan umum.
Sayangnya UU No.40 tahun 1999 tersebut, seringkali tak digunakan oleh aparat penegak hukum. Penegak hukum lebih senang menggunakan UU yang lebih kejam dan lebih fasis yakni UU ITE dan KUHP peninggalan kolonial. UU ITE dan KUHP sangat ampuh untuk melumpuhkan tugas wartawan dalam melakukaan tugas sosial kontrol, sekaligus menimbulkan trauma dan ketakutan bagi wartawan untuk menulis sebuah berita. Dan yang lebih parah lagi, bisa menghambat kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi yang sudah dijamin oleh Undang-undang
Atmakusumah Astraatmadja , pengamat pers dan pengajar Jurnalisme dari Lembaga Pers Dr.Soetomo (LPDS) dalam sebuah lokakarya di Jakarta mengatakan, “dibanyak negara, pasal pasal hukum seperti pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah sudah tidak populer lagi. Alasannya; pertama ; sukar dibuktikan secara faktual karena sering berupa pendapat bukan pernyataan fakta.Kedua; sifatnya relatif dan sangat tergantung kepada perasaan dan pendapat subyektif .Ketiga; pasal pasal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir. Keempat ;tidak menimbulkan kerusakan yang bersifat tetap (permanent damage)” katanya
Dibeberapa negara, hukuman pidana diubah menjadi hukuman perdata (denda) secara proporsional dan tidak membangkrutkan media. Negara yang dimaksud adalah Afrika Tengah (2004),Togo (Afrika Barat 2004),Ghana ,Uganda, Belanda, Amerika Serikat, Srilangka, Jepang,ElSalvador, Ukraina, Moldova, Georgia, Bosnia-Herzegovina, Australia, Meksiko, Macedonia, Irlandia,Kamboja.
Penghapusan serupa telah terjadi seperti di Amerika Latin seperti hoduras, Argentina, paraguay, Kosta Rika, Peru, Guatemala,Ethiopia. Sementara itu Maroko, Yordania, Pakistan sedang memperbaharui UU persnya dengan menghapus hukuman penjara bagi wartawan karena karya jurnalistiknya.
Kemerdeaan berekspresi dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan kebutuhan asasi setiap manusia terlebih lagi masyarakat demokratis. Dengan adanya kebebasan berekspresi, masyarakat dapat memberikan informasi, melakukan kontrol sosial sehingga diharapkan bisa mencegah timbulnya berbagai bentuk praktek ketidak adilan, penyalah gunaan kekuasaan ,serta mencegah praktek KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme) .
Menurut Hakim Agung, DR Artidjo Alkostar, SH. LL.M dalam sebuah lokakarya “Kebebasan berekspresi dalam RUU KUHP”,menegaskan bahwa kebebasan berekspresi sangat penting untuk mengontrol supaya tidak ada penyalah gunaan kekuasaan , oligarki kekuasaan politik dan dominasi kekauatan ekonomi sekelompok orang yang merugikan perjalanan kehidupan bangsa.
Pers, kata Artidjo.berperan menjaga ekuilibrium otoritas kekuasaan negara antara eksekutif,legislatif dan yudikatif serta pelaksanaan hak-hak strategis rakyat yang telah dijamin dalam berbagai aturan hukum.
Kekuasaan politik dan kekuasaan elektoral selalu berpotensi disalah gunakan dalam bentuk korupsi politik. Akan tetapi pada saat yang sama keberadaan otoritas kekuasaan politik dan kekuasan elektoral itu diperlukan agar tidak terjadi kekacauan (chaos) dalam kehidupan bernegara.
Dalam kondisi negara Indonesia yang masih mengidap penyakit kangker korupsi politik , maka kontrol sosial dari pers merupakan suatu kebutuhan vital agar secara radikal bebas virus korupsi politik tidak menjalar keseluruh organ kekuasaan . Bahkan kata Kartidjo, Kontrol sosial akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.
Artidjo mencontohkan Mahkamah Agung membebaskan pemimpin redaksi Majalah Tempo, Bambang Harimurti dari tuduhan melakukan penghinaan dalam suatu tulisan berita. Kasus lainnya, pengabulan kasus kasasi Rommy melawan kepala kepolisian negara Republik Indonesia, dan pengabulan kasasi pimpinan redaksi koran berita Merdeka melawan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal itu merupakan bagian dari penerapan fungsi protektif hukum atas jurnalis karena bekerja memenuhi standar profesionalisme dan sesuai dengan kode etik.
Lalu bagai mana jika wartawan atau pers melakukan kesalahan dan bagaimana pertanggungjawab hukumnya ?. Mari kita kembali menengok UU No 40/Tahun 1999 Tentang Pers. Disana, antara lain mengatur bahwa pers wasjib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Hak jawab adalah hak hak orang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedang hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Sebaliknya, pers memiliki kewajiban koreksi yakni keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini dan gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Dalam menjalankan tugasnya, wartwan atau pers bisa saja melakukan kesalahan yang digolongkan pelanggaran kode etik. Dewan Pers yang salah satu tugasnya mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik memberikan teguran kepada media yang bersangkutan tanpa menunggu laporan atau pengaduan.
Jika ada pengaduan dari orang yang merasa dirugikan, Dewan Pers akan memeriksa , apakah dalam ranah jurnalistik atau diluar ranah jurnalistik. Perbuatan pers diluar ranah jurnalistik seperti misalnya menakut-nakuti, memeras, perbuatan tersebut berada diluar ranah jurnalistik. Disini Dewan Pers akan menyatakan tidak berwewenang. Pihak yang dirugikan dapat menempuh jalur hukum.
Apabila dasar pengaduan ada dalam ranah jurnalistik dan cukup dugaan telah terjadi pelanggaran kode etik, biasanya dewan pers mengusahakan (mengajak) pihak –pihak (pers dan pengadu) melakukan mediasi dengan prinsip-prinsip menemukan penyelesaian secara damai Apabila ditemukan kesalahan jurnalistik , putusan mediasi disertai kewajiban pers yang bersangkutan menyediakan hak jawab dan meminta maaf kepada publik.(***)
*** Penulis adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Tenggara, pemegang sertifikat Saksi Ahli Dewan Pers.
Sbr: MySultra.Com
Fhoto: Internet. |
Teranyar, awal bulan November tahun ini, wartawan Tribun Jeteng (Tribunnews) Raka. F. Pujangga ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik dan dijerat dengan UU ITE terkait pemberitaan kampanye di Semarang menyusul laporan yang menyebutkan dugaan Fadli Zon bagi bagi uang saat pemilihan pilpres 2 Juli 2014 lalu. Dalam pilres beberapa bulan lalu, Fadli Zon tergabung dalam koalisi Merah Putih pendukung Capres Parabowo Subianto/Cawapres Hatta Radjasa. Saat ini Fadli Zon menduduki kursi Wakil Ketua DPRI.
Raka F Pujangga bersama Ketua Komite penyelidikan Pemberantasan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (P2KKN) Jawa Tengah dijerat dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE serta pasal pencemaran nama baik pasal 310 dan 311 KUHP.
Fenomena penggiringan wartawan masuk penjara dengan tuduhan melanggar UU ITE, tidak saja menjadi hantu baru bagi wartawan, akan tetapi lebih luas lagi telah menjadi ancaman bagi kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi. Terlebih lagi hukumannya sangat berat yani lebih dari enam tahun dan/atau denda maksimal satu milyar rupiah. Dengan demikian polisi dapat menahan tersangka selama 120 hari karena dianggap wartawan melakukan pencemaran nama baik.
Hukuman ini jauh lebih berat jika dibanding dengan pasal 310 KUHP produk kolonial yang ancaman pidananya paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Padahal sesungguhnya wartawan dalam menjalankan tugasnya, pada hakekatnya adalah melaksanakan perintah UU yakni UU No 40/1999 tentang Pers. Wartawan juga menjalankan tugas yang dibebankan dari negara. Salah satu fungsi dan peranan pers adalah melakukan sosial kontrol, selain mendidik dan dan menghibur. Dalam menjalankan tugasnya, pers senantiasa berpedoman dan tuntuk pada ketentuan UU No. 40 dan Ketentuan kode etik jurnalistik. Dalam UU No.40 secara tegas mengatakan bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh UU.
Undang No 40 tahun 1999 seharusnya bersifatlexspesialis yakni diberlakukan khusus bagi pers atau wartawan sebagaimana militer berlaku Undang Undang Hukum Pidana militer.Jika ada anggota militer dalam menjalankan tugasnya melanggar, maka diberlakukan Undang Undang Hukum Pidana Militermiliter, bahkan mereka diadili melalui peradilan militer, bukan peradilan umum.
Sayangnya UU No.40 tahun 1999 tersebut, seringkali tak digunakan oleh aparat penegak hukum. Penegak hukum lebih senang menggunakan UU yang lebih kejam dan lebih fasis yakni UU ITE dan KUHP peninggalan kolonial. UU ITE dan KUHP sangat ampuh untuk melumpuhkan tugas wartawan dalam melakukaan tugas sosial kontrol, sekaligus menimbulkan trauma dan ketakutan bagi wartawan untuk menulis sebuah berita. Dan yang lebih parah lagi, bisa menghambat kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi yang sudah dijamin oleh Undang-undang
Atmakusumah Astraatmadja , pengamat pers dan pengajar Jurnalisme dari Lembaga Pers Dr.Soetomo (LPDS) dalam sebuah lokakarya di Jakarta mengatakan, “dibanyak negara, pasal pasal hukum seperti pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah sudah tidak populer lagi. Alasannya; pertama ; sukar dibuktikan secara faktual karena sering berupa pendapat bukan pernyataan fakta.Kedua; sifatnya relatif dan sangat tergantung kepada perasaan dan pendapat subyektif .Ketiga; pasal pasal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir. Keempat ;tidak menimbulkan kerusakan yang bersifat tetap (permanent damage)” katanya
Dibeberapa negara, hukuman pidana diubah menjadi hukuman perdata (denda) secara proporsional dan tidak membangkrutkan media. Negara yang dimaksud adalah Afrika Tengah (2004),Togo (Afrika Barat 2004),Ghana ,Uganda, Belanda, Amerika Serikat, Srilangka, Jepang,ElSalvador, Ukraina, Moldova, Georgia, Bosnia-Herzegovina, Australia, Meksiko, Macedonia, Irlandia,Kamboja.
Penghapusan serupa telah terjadi seperti di Amerika Latin seperti hoduras, Argentina, paraguay, Kosta Rika, Peru, Guatemala,Ethiopia. Sementara itu Maroko, Yordania, Pakistan sedang memperbaharui UU persnya dengan menghapus hukuman penjara bagi wartawan karena karya jurnalistiknya.
Kemerdeaan berekspresi dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan kebutuhan asasi setiap manusia terlebih lagi masyarakat demokratis. Dengan adanya kebebasan berekspresi, masyarakat dapat memberikan informasi, melakukan kontrol sosial sehingga diharapkan bisa mencegah timbulnya berbagai bentuk praktek ketidak adilan, penyalah gunaan kekuasaan ,serta mencegah praktek KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme) .
Menurut Hakim Agung, DR Artidjo Alkostar, SH. LL.M dalam sebuah lokakarya “Kebebasan berekspresi dalam RUU KUHP”,menegaskan bahwa kebebasan berekspresi sangat penting untuk mengontrol supaya tidak ada penyalah gunaan kekuasaan , oligarki kekuasaan politik dan dominasi kekauatan ekonomi sekelompok orang yang merugikan perjalanan kehidupan bangsa.
Pers, kata Artidjo.berperan menjaga ekuilibrium otoritas kekuasaan negara antara eksekutif,legislatif dan yudikatif serta pelaksanaan hak-hak strategis rakyat yang telah dijamin dalam berbagai aturan hukum.
Kekuasaan politik dan kekuasaan elektoral selalu berpotensi disalah gunakan dalam bentuk korupsi politik. Akan tetapi pada saat yang sama keberadaan otoritas kekuasaan politik dan kekuasan elektoral itu diperlukan agar tidak terjadi kekacauan (chaos) dalam kehidupan bernegara.
Dalam kondisi negara Indonesia yang masih mengidap penyakit kangker korupsi politik , maka kontrol sosial dari pers merupakan suatu kebutuhan vital agar secara radikal bebas virus korupsi politik tidak menjalar keseluruh organ kekuasaan . Bahkan kata Kartidjo, Kontrol sosial akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.
Artidjo mencontohkan Mahkamah Agung membebaskan pemimpin redaksi Majalah Tempo, Bambang Harimurti dari tuduhan melakukan penghinaan dalam suatu tulisan berita. Kasus lainnya, pengabulan kasus kasasi Rommy melawan kepala kepolisian negara Republik Indonesia, dan pengabulan kasasi pimpinan redaksi koran berita Merdeka melawan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal itu merupakan bagian dari penerapan fungsi protektif hukum atas jurnalis karena bekerja memenuhi standar profesionalisme dan sesuai dengan kode etik.
Lalu bagai mana jika wartawan atau pers melakukan kesalahan dan bagaimana pertanggungjawab hukumnya ?. Mari kita kembali menengok UU No 40/Tahun 1999 Tentang Pers. Disana, antara lain mengatur bahwa pers wasjib melayani hak jawab dan hak koreksi.
Hak jawab adalah hak hak orang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedang hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Sebaliknya, pers memiliki kewajiban koreksi yakni keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini dan gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Dalam menjalankan tugasnya, wartwan atau pers bisa saja melakukan kesalahan yang digolongkan pelanggaran kode etik. Dewan Pers yang salah satu tugasnya mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik memberikan teguran kepada media yang bersangkutan tanpa menunggu laporan atau pengaduan.
Jika ada pengaduan dari orang yang merasa dirugikan, Dewan Pers akan memeriksa , apakah dalam ranah jurnalistik atau diluar ranah jurnalistik. Perbuatan pers diluar ranah jurnalistik seperti misalnya menakut-nakuti, memeras, perbuatan tersebut berada diluar ranah jurnalistik. Disini Dewan Pers akan menyatakan tidak berwewenang. Pihak yang dirugikan dapat menempuh jalur hukum.
Apabila dasar pengaduan ada dalam ranah jurnalistik dan cukup dugaan telah terjadi pelanggaran kode etik, biasanya dewan pers mengusahakan (mengajak) pihak –pihak (pers dan pengadu) melakukan mediasi dengan prinsip-prinsip menemukan penyelesaian secara damai Apabila ditemukan kesalahan jurnalistik , putusan mediasi disertai kewajiban pers yang bersangkutan menyediakan hak jawab dan meminta maaf kepada publik.(***)
*** Penulis adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Tenggara, pemegang sertifikat Saksi Ahli Dewan Pers.
Sbr: MySultra.Com