Lalai Pengawasan, PT RAPP dan PT Arara Abadi Tak Bayar Ratusan Milyar PSDH, KPK Harus Periksa Perusahaan Raksasa Ini
https://www.riaupublik.com/2015/04/lalai-pengawasan-pt-rapp-dan-pt-arara.html
RIAUPUBLIK.COM, PEKANBARU-- PT Riau Anadalan Pulp and Paper (PT RAPP) dan PT Arara Abadi dan
perusahaan kehutanan lainnya akan dipanggil kembali oleh Panitia Khusus
Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau untuk meminta
penjelasan terkait pasokan bahan baku kayu, untuk mengetahui apakah
benar pengawasan pemerintah lemah sehingga merugikan negara ratusan
miliar Rupiah untuk sektor Provisi Sumber Daya Hutan.

Menurut dia, aturan yang membuat
lemahnya pengawasan tersebut harus segera dirombak. Dia mengatakan hal
ini akan disampaikan kepada Presiden dan Kementrian Kehutanan dalam
bentuk rekomendasi hasil pansus.
Hal tersebut, lanjut dia, dimana PSDH
rendah berpengaruh juga pada bagi hasil pemerintah pusat dan daerah.
Dalam aturannya pembagian adalah 20 pusat dan 80 daerah yang didalamnya
16 persen untuk provinsi dan selebihnya untuk kabupaten penghasil.
Sebelumnya, Pansus telah memanggil
sejumlah 58 Perusahaan Kehutanan dari 61 total yang beroperasi di Riau.
Namun pemanggilan kembali direncanakan setelah melakukan tinjauan
langsung ke lapangan yang menemukan lemahnya pengawasan oleh petugas
negara terkait lalu lintas kayu dari tempatnya ke pabrik sehingga tidak
diketahui apakah kayu itu ilegal atau tidak.
Dalam tinjauannya saat itu, tidak ada
petugas syahbandar, bea cukai, dan kehutanan mengawasai lalu lintas kayu
di Sungai Siak menuju pabrik dua perusahaan kehutanan Indah Kiat Pulp
and Paper (IKPP) dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Hal ini
menandakan adanya “Loss Control” dari pemerintah sehingga tidak
diketahui kayu yang masuk itu ilegal atau tidak.
Dia menjelaskan bahwa sebaiknya
mekanisme tersebut setelah disahkan Rencana Kerja Tahunan dan kayu telah
tumbang harus dihitung jumlah potensi yang harus dibayarkan ke negara.
Ini disebut dengan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
“Yang melakukan ini adalah Petugas
Pejabat Laporan Hasil Produksi (P2LHP) dari Kementrian Kehutanan. P2LHP
harus memeriksa dan menghitungnya dulu dan setelah itu barulah bisa
masuk kapal,” ungkap Politisi Hanura ini.
Kemudian setelah masuk kapal tentu harus
ada juga pengawasan dari Bea Cukai. Tapi, kata dia, pada saat meninjau
beberapa waktu lalu tidak ada petugas di kantor, kosong semua.
Selanjutnya setelah kayu tiba di pabrik,
harus diperiksa oleh Pejabat Pembuat Pengesah Kayu Bulat (P3KB) dengan
berkoordinasi dengan P2LHP. Sebelum disahkan, harus diperiksa dulu
berapa yang diambil dan berapa yang sudah dibayarkan apakah itu kayu
alam atau pun hutan tanaman (akasia).
“Di lapangan tidak ada kontrol seperti
itu. Maka kami menduga ada potensi kerugian negara ratusan miliar dalam
waktu lima tahun saja dari sektor PSDH. Kalau perusahaan perlu 12 juta
ton per tahun, jadi kerugian kita setengah dari bahan baku (kayu) yang
masuk,”sebutnya. (Rpc/