Wweeii..Pelesetan Lidah BMKG Diluruskan, Cermin Buram Hegemoni, Impunitas, dan Dugaan Mafia Tanah Berkedok Negara

Oleh: Tim Hukum dan Advokasi DPP GRIB Jaya


RIAUPUBLIK.COM, JAKARTA-- Kasus sengketa lahan antara Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya) yang membela hak ahli waris dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Tangerang Selatan, alih-alih sekadar perselisihan properti, justru membuka luka lama sekaligus potret buram penanganan sengketa lahan di Indonesia. Lebih jauh, narasi "premanisme" yang dialamatkan kepada GRIB Jaya oleh pihak-pihak tertentu berpotensi menjadi taktik klasik untuk mengaburkan akar permasalahan yang lebih dalam: ketidakadilan struktural, dugaan impunitas oknum aparatur negara, dan bayang-bayang praktik mafia tanah.

Sengketa lahan di Indonesia bukanlah fenomena baru. Dari Sabang hingga Merauke, cerita pilu masyarakat adat, petani, hingga ahli waris yang berhadapan dengan korporasi besar, institusi negara, atau bahkan oknum-oknum yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, telah menjadi narasi yang berulang. Modusnya pun beragam, mulai dari klaim sepihak atas tanah yang telah dihuni turun-temurun, pembebasan lahan yang tidak adil, hingga praktik manipulasi hukum demi memuluskan kepentingan tertentu. 

Dok: Liputan  Exclusif Metrotv Langsung di  Lapangan 

Dalam kasus ini, informasi yang berkembang bahkan menyebut adanya dugaan permainan antara lahan BMKG dengan mantan lurah Pondok Betung (Senan), di mana lahan yang diklaim BMKG diduga merupakan tanah bengkok yang memiliki sejarah panjang jual beli dan sengketa internal antarpihak di masa lalu (misalnya antara Garmadi Kartawijaya dan Mahendro Kardono pada 1974, lalu dijual ke Rahmat Hidayat).

Dalam kasus GRIB Jaya dan BMKG, kronologi yang diungkapkan oleh pihak GRIB Jaya melalui tim hukumnya memunculkan sejumlah pertanyaan krusial. Klaim bahwa ahli waris ini adalah pemilik sah dengan bukti girik, dan persil pembebasan lahan sebelumnya tidak overlap dengan tanah ahli waris yang kini bersengketa, secara fundamental menantang dasar klaim BMKG. 

Kekalahan BMKG di tiga tingkat pengadilan awal, lalu "kemenangan" kontroversial di tingkat Peninjauan Kembali (PK) tanpa perintah eksekusi yang jelas, hingga upaya berkali-kali BMKG untuk mendapatkan perintah eksekusi yang selalu ditolak pengadilan, mengindikasikan adanya kejanggalan dan ketidakpastian hukum yang merugikan masyarakat. Bahkan, pertanyaan besar muncul terhadap validitas SHP No. 1 dan SHP No. 5 Pondok Betung yang menjadi dasar klaim BMKG, mengingat sejarah panjang dan kompleksitas lahan tersebut.

Penggunaan "surat penjelasan" dari ketua pengadilan sebagai pembenaran tindakan di lapangan, alih-alih surat perintah eksekusi yang sah, semakin memperkuat dugaan adanya upaya jalan pintas yang mengabaikan prosedur hukum yang semestinya. Hal ini seolah menegaskan adagium "hukum tumpul ke atas tajam ke bawah", di mana institusi negara diduga mencari cara untuk memaksakan kehendak tanpa melalui mekanisme eksekusi yang ketat dan transparan, yang merupakan prasyarat mutlak dalam perpindahan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan.

Framing isu premanisme terhadap GRIB Jaya, sebuah organisasi yang secara konsisten menyatakan diri membela hak-hak ahli waris, patut dicermati sebagai taktik pengalihan isu. Ketika masyarakat sipil atau ormas berupaya mendampingi dan memperjuangkan hak-hak rakyat yang berhadapan dengan kekuatan besar, termasuk negara, label "preman" atau "melawan negara" seringkali digunakan untuk mendiskreditkan dan melemahkan posisi mereka di mata publik. Tujuannya jelas: mengalihkan fokus dari substansi permasalahan, yaitu dugaan ketidakberesan dalam proses hukum dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Respons Kepolisian: Menangkap, Bukan Menyelesaikan Akar Konflik?

Di tengah kompleksitas sengketa ini, respons aparat kepolisian menjadi sorotan. Penangkapan beberapa anggota GRIB Jaya secara cepat, tanpa terlihat adanya upaya mediasi atau penyelesaian konflik dasar terkait hak-hak ahli waris dan legalitas klaim BMKG, menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa penegakan hukum cenderung lebih cepat dan 'tajam' dalam menindak elemen masyarakat yang membela hak, sementara akar permasalahan sengketa lahan yang berlarut-larut dan dugaan ketidakberesan di tubuh aparatur negara justru belum tersentuh? 

Tindakan ini dapat memperkuat persepsi publik bahwa hukum dimanfaatkan sebagai alat untuk menekan pihak yang lebih lemah, alih-alih sebagai instrumen penyelesaian konflik yang adil. Seharusnya, kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum juga berperan sebagai fasilitator keadilan, bukan semata-mata penindak laporan dari satu pihak, terutama dalam kasus yang memiliki dimensi sengketa perdata dan sejarah yang rumit.

Ironisnya, tuduhan premanisme ini muncul di tengah maraknya isu korupsi dan praktik mafia tanah yang melibatkan oknum aparatur negara. Masyarakat sudah semakin cerdas dalam membaca narasi. Mereka mulai mempertanyakan, apakah label "preman" ini sengaja diciptakan untuk mengecohkan publik dari kondisi riil, di mana hukum justru dijadikan tameng untuk mengakumulasi kekayaan pribadi dan kelompok tertentu? Termasuk di sini, apakah ada indikasi oknum aparatur negara yang "bermain" dalam sejarah lahan ini? Apakah ini cara untuk membungkam suara-suara kritis yang berani melawan ketidakadilan, termasuk praktik-praktik yang menyengsarakan rakyat atas nama negara?

Sengketa lahan di Indonesia adalah bom waktu yang terus berdetak. Ketidakadilan dalam penanganan kasus-kasus agraria tidak hanya merugikan masyarakat secara ekonomi dan sosial, tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap institusi penegak hukum dan pemerintah. Kasus GRIB Jaya vs BMKG, dengan segala kejanggalan dan narasi yang menyertainya, seharusnya menjadi pengingat keras bahwa reformasi agraria dan penegakan hukum yang berkeadilan adalah harga mati. 

Masyarakat tidak boleh terkecoh oleh upaya framing murahan yang bertujuan melindungi kepentingan segelintir pihak dengan mengorbankan hak-hak rakyat kecil. Hukum harus berdiri tegak, tanpa pandang bulu, dan benar-benar menjadi panglima dalam menyelesaikan setiap sengketa, termasuk sengketa lahan, demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya. ( Rls)

Related

Ekonomi 1192374816698406814

Posting Komentar

emo-but-icon

Siak

Siak

Ik

Ik

Ikln

Ikln

LPPNRI RIAU

Dewan Redaksi RPC

publik MERANTI

Galery&Adv

Dewan Bengkalis

Newspelalawan

Komisi Pemberantasan Korupsi

Sum

Sum

PEMKAB SIAK

dewan bengkalis

Follow Us

Ikln

Ikln

Rohil

Rohil

Rohil

Rohil

DPRD Rohil

DPRD Rohil

Uc

Uc

Uc

Uc

uc

uc

UCP

UCP

UC

UC

Hot News

Recent

Comments

Side Ads

item