Konflik Lahan di Kampar Memanas, LBHI Batas Indragiri Ungkap Kronologi dan Soroti Niat Pendirian Pesantren
RIAUPUBLIK.COM, PEKANBARU – Konflik lahan seluas ±4 hektar di Jalan Uka, Dusun II, Desa Rimba Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau, kini menyeret nama besar mantan pejabat publik H. Edy Natar Nasution. Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Batas Indragiri secara resmi merespons somasi yang dilayangkan kuasa hukum Edy Natar dengan meluncurkan surat jawaban bernomor 009/LBHI/SP/VIII/2025 tertanggal 5 September 2025.
Isi surat itu mengungkap kronologi panjang pengelolaan lahan oleh klien mereka, Alexander Pronato, sekaligus menyinggung sejumlah poin yang berpotensi meruntuhkan klaim pihak Edy Natar.
---
Kronologi Versi LBHI: Lahan Dikelola Sejak 2016
Menurut LBHI, lahan tersebut bukan “tanah kosong” sebagaimana diasumsikan, melainkan telah sejak lama digarap:
2016: Lahan ditanami komoditas pertanian seperti pisang, cabai, dan kacang tanah.
2018: Lahan dipakai untuk kegiatan ekonomi organisasi Aliansi Jurnalis Online Indonesia (AJOI) Riau.
2019: Dibentuk Aliansi Pewarta Pertanian Indonesia (APPI), dengan pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) di atas lahan yang sama, lengkap dengan jaringan listrik dan air bersih yang disebut dibiayai dari dana pribadi klien LBHI.
“Semua infrastruktur dan sarana yang ada di lokasi berasal dari dana pribadi klien kami. Tidak ada bantuan pihak luar,” tegas LBHI.
---
Janji Pesantren: Komitmen Lisan yang Tak Pernah Terwujud
LBHI juga mengungkap, pada 2019 Edy Natar Nasution pernah menyatakan niat mendirikan pondok pesantren di atas tanah itu untuk mengenang orang tuanya. Niat itu disambut positif oleh klien LBHI dengan kesediaan menghibahkan sebagian tanah, asalkan benar-benar digunakan untuk pesantren.
Namun, menurut LBHI, kesepakatan itu hanya bersifat lisan dan hingga kini pesantren tidak pernah dibangun.
---
Ketegangan di Lapangan dan Tudingan “Jenderal”
Situasi memanas pada Agustus 2025, ketika klien LBHI mengaku dihalangi masuk ke lahan tersebut. Seorang bernama Indra disebut menyatakan larangan itu “atas perintah jenderal” yang dimaksudkan merujuk kepada Edy Natar.
LBHI menilai tindakan penghalangan itu memperkeruh keadaan. Mereka menegaskan bahwa selama ini tidak ada sengketa dengan pihak manapun, apalagi tuduhan lahan dikendalikan preman atau LSM.
“Jika benar bermasalah, tentu jalurnya hukum, bukan klaim liar,” tegas LBHI.
---
Analisis Investigatif: Risiko Politik dan Hukum
Kasus ini menjadi pelik karena menyeret nama Edy Natar Nasution, tokoh publik yang pernah menjabat Wakil Gubernur Riau. Ada tiga risiko besar yang bisa muncul:
1. Risiko Reputasi
Klaim soal lahan pesantren bisa menjadi bumerang. Jika benar niat mulia membangun pesantren tidak kunjung diwujudkan, publik bisa menilai ada manipulasi niat sosial untuk kepentingan pribadi atau politik.
2. Risiko Politik
Isu ini ditembuskan hingga Presiden RI, DPR, Mahkamah Agung, hingga PBNU. Artinya, konflik lokal ini bisa mengeskalasi ke isu politik nasional, apalagi jika dikaitkan dengan citra Edy Natar sebagai figur publik di Riau.
3. Risiko Hukum
Jika terbukti ada penguasaan lahan tanpa dasar hukum yang jelas, kasus ini bisa berujung ke ranah pidana maupun perdata. LBHI tampak siap membawa bukti pengelolaan sejak 2016.
---
LBHI Menunggu Itikad Baik
Di akhir surat, LBHI menyatakan klien mereka masih memberi ruang kompromi:
Jika Edy Natar sungguh-sungguh ingin membangun pesantren, lahan bisa dihibahkan.
Namun jika tidak, maka lahan harus dikembalikan kepada pihak yang selama ini mengelola dan membiayai pengembangan.
“Kesepakatan awalnya jelas: untuk pesantren. Jangan digeser ke arah kepentingan lain. Jika niat itu tidak ada, maka tanah harus kembali,” tegas LBHI.
Sengketa ini menjadi gambaran klasik konflik lahan di Indonesia: niat sosial bercampur dengan kepentingan politik dan ekonomi. Pertanyaannya, apakah Edy Natar berani membuktikan niat mulianya di depan publik, atau kasus ini justru akan membuka babak baru perseteruan hukum?
